Candi yang berada di daerah lain seperti
Sumatera Utara dikenal istilah ”biaro” dan di Jawa Timur istilah ”cungkub”.
Namun masyarakat lebih mengenal istilah candi, apa pun jenis bangunan kuno
(termasuk reruntuhan) serta di mana pun letak candi berada. Kata ”candi” berasal
dari salah satu nama yang diberikan kepada Dewi Durga, yakni permaisuri Dewa
Siwa. Dewi Durga disimbolkan sebagai Dewi Maut yang disebut dengan
“candika”. Istilah candi kemudian digunakan untuk menyebutkan bangunan
peninggalan pada jaman Indonesia purba.
Candi merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan
kuno yang pernah ada di Indonesia, seperti Mataram Hindu, Singasari, Majapahit,
dan Sriwijaya. Candi Borobudur dan Candi Prambanan (Loro Jonggrang) adalah
bukti-bukti kejayaan Kerajaan Mataram dari abad ke-8 hingga ke-11. Candi
Singasari, Kidal, dan Jago merupakan sisa-sisa kebesaran Kerajaan Singasari,
dari abad ke-11 hingga ke-13. Candi Tikus, Bajangratu, Brahu, dan Wringin
Lawang adalah peninggalan Kerajaan Majapahit dari abad ke-13 hingga ke-15.
Candi-candi di sekitar Muara Jambi diduga merupakan sisa-sisa Kerajaan
Sriwijaya dari abad ke-7 hingga ke-11.
Candi-candi di Indonesia umumnya bercirikan
agama Budha (terutama aliran Mahayana dan Tantrayana) dan agama Hindu (terutama
aliran Siwaisme). Candi bersifat Budha dikenal lewat arca Budha dan bentuk
stupa, misalnya Borobudur dan Mendut. Sementara itu, Candi bersifat Hindu
mempunyai arca-arca dewa-dewi di dalamnya, misalnya Prambanan dan Dieng.
Uniknya, beberapa candi bersifat campuran Siwa-Budha, antara lain Singasari dan
Jawi di Jawa Timur.
Candi di Indonesia dapat dibedakan berdasarkan
langgam seninya menjadi tiga bagian. Pertama, langgam Jawa Tengah Utara.
Contohnya Candi Gunungwukir, Badut, Dieng, dan Gedongsongo. Kedua, Langgam Jawa
Tengah Selatan misalnya Candi Kalasan, Sari, Borobudur, Mendut, Sewu, Plaosan,
dan Prambanan. Ketiga, langgam Jawa Timur, termasuk candi-candi di Bali,
Sumatera dan Kalimantan. Contohnya Candi Kidal, Jago, Singasari, Jawi,
Panataran, Jabung, Muara Takus dan Gunung Tua. Ditilik dari corak dan
bentuknya, pada dasarnya candi di Jawa Tengah Utara tidak berbeda dari
candi-candi Jawa Tengah Selatan. Hanya candi-candi di Jawa Tengah Selatan lebih
mewah dan lebih megah dalam bentuk dan hiasan dibandingkan candi-candi Jawa
Tengah Utara. Perbedaan yang nyata terdapat pada candi-candi Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Umumnya candi langgam Jawa Tengah berbentuk
tambun, atapnya berundak-undak, reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya
naturalis, mengha-dap ke Timur, letak candi di halaman utama, gawang pintu dan
relung berhiaskan kala makara serta berbahan batu andesit. Sementara itu, candi
langgam Jawa Timur berbentuk ramping, atapnya merupakan perpaduan tingkatan,
puncaknya berbentuk kubus, makara tidak ada hanya hiasan atasnya diberi kepala kara,
reliefnya timbul sedikit, lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit, letak
candi di halaman belakang, menghadap ke barat dan berbahan batu bata. Sejumlah
arkeolog menamakan gaya seni candi berdasarkan aspek zaman dan periode, yaitu
gaya Mataram Kuno (abad VIII-X), gaya Singasari (abad XII-XIV), dan gaya
Majapahit (abad XIII-XV).
Dahulu candi di Indonesia digunakan sebagai
pemujaan terhadap nenek moyang (makam). Ada beberapa candi yang berfungsi
sebagai stupa (candi Borobudur), sebagai wihara (candi Sari), sebagai istana
(candi Boko), sebagai petirtaan / pemandian (taman sari) dan sebagai gapura
(candi Bajang Ratu). Penggunaan candi sebagai tempat pemujaan dilakukan
masyarakat (Jawa-bahkan hingga sekarang) karena dianggap roh nenek moyangnya
akan pergi menuju ke Yang Kuasa. Mahameru (gunung) dianggap sebagai tempat yang
tinggi makna simboliknya, yakni makna-makna sakral, lebih dekat dengan Yang
Kuasa dan kekuasaan yang lebih tinggi. Oleh karena itu candi-candi di Indonesia
banyak yang “bersandar” di gunung yakni didirikan di tempat dataran yang
tinggi, lereng atau area sekitar gunung-gunung. Lokasi candi yang berada di
gunung ini membuat lokasi candi biasanya berada di luar pusat-pusat kerajaan
kuno di Indonesia.
Pendirian candi-candi yang ada di Indonesia
mempunyai maksud, fungsi dan tujuan. Setiap candi biasanya memiliki relief yang
merupakan cerita, tuntunan nilai-nilai yang tinggi dari pendirinya, dari cerita
Ramayana, Mahabarata hingga relief-relief yang melukiskan kejayaan suatu
kerajaan. Setiap candi mempunyai ciri dan keunikan tersendiri, salah satunya
adalah candi Sukuh. Situs candi ini sangat unik, baik dilihat dari bentuk candi
secara umum maupun dari relef-relief yang dipahat di dalamnya. Menurut
sejarah, Candi Sukuh dibangun pada sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu
Tantrayana.. Candi ini dibangun pada masa akhir runtuhnya Kerajaan Majapahit
yang berpaham Hindu. Pada waktu itu para pengikut setia Kerajaan Majapahit yang
runtuh diserang Kerajaan Demak (berpaham Islam) melarikan diri ke lereng Gunung
Lawu, kemudian membangun candi ini.
Situs candi Sukuh ditemukan kembali pada masa
pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, pada
waktu itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data
guna menulis bukunya The History of Java. Mulai saat itu banyak kalangan
sarjana mengadakan penelitian Candi Sukuh antara lain Dr. Van der Vlis tahun
1842, Hoepermen diteruskan Verbeek tahun 1889, Knebel tahun 1910, dan sarjana
Belanda Dr. WF. Stutterheim.
Profil Candi Sukuh
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki
Gunung Lawu pada ketinggi-an kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut
pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur
Barat. Candi ini terletak di dukuh Berjo, desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini
berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari
Surakarta. Kurang lebih 4 kilometer mendaki gunung Lawu lagi, terdapat situs
Candi Cetho. Untuk menuju lokasi ini kita dapat mengikuti jalan luar
propinsi yang menuju kearah objek wisata Tawang Mangu, bahkan jika terus naik
kita dapat menjumpai objek wisata Waduk Sarangan yang berada di wilayah
Kabupaten Magetan Jawa Timur. Di sekitar candi sukuh juga terdapat sebuah
makam mantan Ibu Negara yakni makam Kalitan tempat disemayamkan Ibu Tien
Soeharto. Jalan untuk mencapai lokasi candi Sukuh mempunyai medan yang cukup
terjal karena berada di atas sebuah bukit. Namun sekarang jalan menuju ke candi
sudah diaspal cukup nyaman meskipun harus hati-hati karena terkadang ada kabut
tebal yang mengurangi pandangan depan dan membuat jalan aspal semakin licin.
Bangunan candi Sukuh memiliki ciri khas bentuk
yang relatife sederhana dibandingkan dengan candi lain. Hiasan candi dan relief
yang ada di candi Sukuh hanya sedikit dan tidak terlalu dekoratif . Kesan yang
didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari
candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi
Prambanan. Bahkan bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan
peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Bentuk
candi ini yang berupa trapezium memang tak lazim seperti umumnya candi lain di
Indonesia. Struktur ini juga mirip dengan bentuk piramida di Mesir. Candi ini
juga tergolong kontroversial karena adanya objek-objek lingga dan yoni yang
melambangkan seksualitas.
Kesan kesederhanaan bentuk candi ini menurut
arkeolog Belanda W.F. Stutterheim (tahun 1930) ada tiga argumen: pertama,
kemungkinan pemahat candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu
dari desa dan bukan dari kalangan keraton, kedua candi dibuat dengan agak
tergesa-gesa sehingga kurang rapi, atau ketiga bahwa keadaan politik pada waktu
itu menjelang keruntuhan Kerajaan Majapahit karena didesak oleh pasukan Islam
Demak, sehingga tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.
Gapura Pertama dengan bentuk arsitektur yang
khas,disusun agak miring berbentuk trapesium dengan atap di atasnya.
Berbagai relief tampak dilukiskan di beberapa
sudut candi, beberapa ornamen sakral seperti Lingga-Yoni digambarkan secara
realistis mirip sekali dengan genital pria dalam kehidupan kita sehari-hari.
Beberapa kalangan menyebut candi ini disebut candi porno, padahal pada zaman
dahulu mungkin kaum awam tidak mudah masuk kedalam candi ini karena
kesakralannya yang tinggi.
Teras Pertama
Candi Sukuh dibangun dalam tiga susunan trap
(teras), teras yang posisinya makin ke belakang terletak di dataran yang makin
tinggi. Pada teras pertama terdapat pintu gerbang (gapura) utama. Bentuk
gapuranya amat unik yakni dibuat miring seperti trapezium, layaknya pylon
(gapura pintu masuk ke tempat suci) di Mesir. Pada sisi gapura sebelah utara
terdapat relief “manusia ditelan raksasa” yakni sebuah “sengkalan rumit” yang
bisa dibaca “Gapura buta mangan wong “ (gapura raksasa memakan manusia ).
Gapura dengan karakter 9, buta karakternya 5, mangan karakternya 3, dan wong
mempunyai karakter 1. Jadi candra sengkala tersebut dapat dibaca 1359 Saka atau
tahun 1437 M, menandai selesainya pembangunan gapura pertama ini. Dilantai
dasar dari gapura ini terdapat relief yang menggambarkan phallus (penis)
berhadapan dengan vagina dengan di kelilingi oleh kalungan sperma. Sepintas
relief ini mempunyai kesan porno, namun relief ini mengandung makna yang
mendalam, lingga-yoni ini merupakan lambang kesuburan.
Lingga yoni berbentuk alat kelamin pria dan
wanita serta berkalung untaian sprema
gambar.
Relief tersebut di pahat di lantai pintu masuk
dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang
melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”. Relief tersebut
berfungsi sebagai “suwuk” untuk “ngruwat”, yakni membersihkan segala kotoran
yang melekat di hati setiap manusia. Dalam bukunya Candi Sukuh Dan Kidung
Sudamala Ki Padmasuminto menerangkan bahwa relief tersebut merupakan sengkalan
yang cukup rumit yaitu : “Wiwara Wiyasa Anahut Jalu “.Wiwara artinya gapura
yang suci dengan karakter 9, Wiyasa diartikan daerah yang terkena “suwuk”
dengan karakter 5, Anahut (mencaplok) dengan karakter 3, Jalu ( laki-laki )
berkarakter 1. Jadi bisa di temui angka tahun 1359 Saka.
Teras kedua
Gapura yang terletak di teras kedua kondisinya
telah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga
pintu atau dwarapala dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi.
Gapura sudah tidak memiliki atap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak
patung-patung. Pada bagian tengah terdapat relief yang menggambarkan Ganesya
dengan tangan yang memegang ekor. Relief ini terdapat sebuah candrasangkala
pula yang dalam bahasa Jawa berbunyi “gajah wiku anahut buntut”, artinya dalam
bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki
makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun
1456 Masehi. Jika angka tahun ini benar menunjukkan pembangunan gapura ini,
maka ada selisih hampir duapuluh tahun antara gapura di teras kedua ini dengan
gapura di teras pertama.
Trap kedua ini lebih tinggi daripada trap
pertama dengan pelataran yang lebih luas. Terdapat jejeran tiga tembok
dengan pahatan-pahatan relief yang menggambarkan peristiwa sosial yang menonjol
di masyarakat sekitar pada saat pembangunan Candi Sukuh, relief ini disebut
relief Pande Besi. Relief sebelah selatan menggambarkan seorang wanita terdiri
di depan tungku pemanas besi, kedua tangannya memegang tangkai “ububan” (
peralatan mengisi udara pada pande besi). Pande besi adalah pengrajin yang
membuat peralatan untuk menunjang kehidupan, seperti alat-alat pertanian, alat
rumah tangga dan lain-lain.
Bangunan utama candi Sukuh, bentuknya seperti
bentuk Pyramid
Teras ketiga
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar
dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di
sebelah kanan. Apabila ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan
berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus
dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat
demikian, sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, memang dibuat
untuk menguji keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang
masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun
apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang
dipakainya akan robek dan terlepas.
Relief pada sebelah utara menggambarkan
seorang laki-laki sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek
senjata-senjata tajam seperti keris, tumbak dan pisau. Trap Ketiga ini trap
tertinggi yang merupakan trap paling suci. Tepat di bagian tengah candi utama
terdapat sebuah bujur sangkar yang merupakan tempat menaruh sesajian, untuk
membakar kemenyan, dupa dan hio.
Dengan struktur bangunan seperti ini, candi
Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya. Di dalam
buku itu diterangkan bahwa bentuk candi harus bujur sangkar dengan pusat persis
di tengah-tengahnya, dan yang ditengah itulah tempat yang paling suci.
Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari aturan-aturan itu, hal
tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh dibuat, era
kejayaan Hindu sudah memudar, dan mengalami pasang surut, sehingga kebudayaan
asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prahistori jaman
Megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya asli bangsa Indonesia tersebut
ikut mewarnai dan memberi ciri pada candhi Sukuh ini. Karena trap ketiga ini
trap paling suci, maka maklumlah bila ada banyak petilasan. Seperti halnya trap
pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapa
yang terbuat dari batu. Jalan batu di tengah pelataran candi ini langka ditemui
di candi-candi pada umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di “bangunan
suci” prasejarah jaman Megalithic.
Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat
serangkaian relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi Sukuh dan telah
diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala. Sudamala adalah salah
satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala (suda
artinya: bersih, mala berarti: dosa) sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat”
Bathari Durga yang menda-pat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya.
Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina
bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula, yakni
seorang bidadari di kayangan dengan nama bethari Uma Sudamala. Sehingga cerita
Sudamala ini kemudian disebutkan dalam sebuah buku / kidung, yakni Kidung
Sudamala. Urutan relief dalam fragmen Sudamala adalah sebagai berikut:
Relief pertama
Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau
Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa
Lima. Keduanya adalah putra Prabu Pandu dari istrinya yang kedua, Dewi Madrim.
Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh
oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama
ketiga anaknya dari Pandu, yaitu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini
menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan
atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh wanita yaitu
Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan. Relief ini menggambarkan
ketika Dewi Kunthi meminta pada Sadewa agar mau “ngruwat” Bethari Durga namun
Sadewa menolak.
Relief kedua.
Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi
Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah
mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalanjaya menyertai
Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka
dan Kalanjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati
Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat
pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau
membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat
wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor
burung hantu. Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di
hutan Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari
sorga karena pelanggaran.
Relief ketiga
Pada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa
bersama punakawan-nya, Semar berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra
dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas. Atas perintah Batari Durga yang
telah dibebaskannya, Sadewa harus mengawini anak seorang pendeta buta. Pertapa
buta itu pun disembuhkannya dari kebutaan.
Relief keempat
menggambarkan Sadewa berhasil “ngruwat” Sang
Durga. Sadewa kemudian diperintah pergi kepertapaan Prangalas, di situ Sadewa
menikah dengan Dewi Pradapa. Adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa
sedang bercengkerama dengan Tambrapetra dan putrinya Dewi Padapa serta seorang
punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan
putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.
Relief kelima
Relief ini melukiskan adegan adu kekuatan
antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Bima dengan kekuatannya
yang luar biasa sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan
kuku pancanakanya.
Beberapa bangunan di sekitar candi utama
Pada sebelah selatan jalan batu ada terdapat
candi kecil, yang didalamnya terdapat arca dengan ukuran yang kecil pula. Di
lokasi ini terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita
pencarian Tirta Amerta yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama
Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti yang
menandai tahun saka 1363. Cerita ikwal Garudeya adalah sebagai berikut: Garuda
mempunyai ibu bernama Winata yang menjadi budak salah seorang madunya yang
bernama Dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena telah kalah bertaruh
tentang warna ekor kuda uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam bertaruh sebab
dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berwujud ular naga yang berjumlah
seribu yang menyemburkan bisa-bisanya di ekor kuda Uchaiswara sehingga warna
ekor kuda berubah hitam. Dewi Winata dapat diruwat Sang Garuda dengan cara
memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para Dewa.
Altar berbentuk kura-kura
Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian
Tirta Amerta (air kehidupan) di dekat candi kecil terdapat kura-kura yang cukup
besar sejumlah tiga ekor sebagai lambang dari dunia bawah yakni dasar Gunung
Mahameru, ini berkaitan dengan kisah suci agama Hindhu yakni “samudra samtana”
yaitu ketika Dewa Wisnu menjelma menjadi kura-kura raksasa untuk membantu para
dewa-dewa lain mencari air kehidupan (tirta perwita sari). Bentuk kura-kura ini
menyerupai meja yang kemungkinan didesain sebagai tempat menaruh untuk
sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung
Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari Tirta
Amerta (kisah Pemutaran Laut Mencari Amerta).
Bangunan Dan Patung
Lainnya
Salah satu prasasti di kompleks candi Suku.Di
komplek candi induk terdapat sebuah prasasti yang menyiratkan bahwa candi Sukuh
dalam candi untuk Pengruwatan, yakni prasasti yang diukir dipunggung relief
sapi. Sapi tersebut digambarkan sedang menggigit ekornya sendiri dengan
kandungan sengkalan rumit: “Goh wiku anahut buntut” maknanya tahun 1379 Saka.
Sengkalan ini makna tahunnya persis sama dengan makna prasasti yang ada
dipunggung sapi yang artinya kurang lebih demikian: untuk diingat-ingat
ketika bersujud di kahyangan (puncak gunung), terlebih dulu agar datang di
pemandian suci. Saat itu adalah tahun saka Goh wiku anahut buntut 1379. Kata
yang sama dengan ruwatan disini yaitu kata: “pawitra” yang artinya pemandian
suci. Karena di kompleks Candi Sukuh tidak terdapat pemandian atau kolam
pemandian maka pawitra dapat diartikan air suci untuk “ngruwat” seperti halnya
kata “tirta sunya”. Tempat suci untuk pengruwatan, seperti yang sudah
diutarakan, dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala, Garudeya serta
prasasti-prasasti, maka dapat dipastikan candi Sukuh pada jamannya adalah
tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ritus) ruwatan.
Selain candi utama dan patung-patung
kura-kura, garuda serta relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung
hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para
ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah untuk sarana transportasi. Bentuk
bangunan lain adalah relief tapal kuda yang menggambarkan dua sosok manusia di
dalamnya, di sebelah kira dan kanan yang berhadapan satu sama lain. Ada yang
berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang wanita dan sosok
sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan
kebajikan. Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut
candi pewara. Di bagian tengah bangunan ini berlubang dan terdapat patung kecil
tanpa kepala.
Keberadaan Candi Sukuh
Bentuk candi Sukuh secara umum lebar bagian
bawah candi kemudian meruncing ke atas seperti gunung, meskipun secara spesifik
bentuk candi Sukuh ini tergolong unik dibandingkan dengan candi-candi lain di
Jawa (Tengah). Sesuai dengan kepercayaan masyarakat pada waktu itu bahwa gunung
merupakan tempat yang memiliki unsur kekuatan dan kesakralan, maka candi ini
dibangun di sebuah lereng gunung Lawu. Kondisi ini memberikan pandangan bahwa
bangunan candi ini didirikan di luar pusat pemerintahan atau pusat kerajaan
yang mendirikannya, karena biasanya pusat-pusat kekuasaan kerajaan jaman dulu
berada di dataran yang rata dan tidak berbukit seperti Kraton Jogja, Solo, dan
lainnya.
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa
sejarah berdirinya situs candi Sukuh ini pada awal abad 15. Menurut sejarah
pula, candi Sukuh didirikan oleh para pelarian Kerajaan Majapahit yang kalah
perang melawan Kerajaan Demak dalam proses penyebaran agama Islam di Jawa.
Kerajaan Hindu Majapahit mengalami puncak kejayaannya pada tahun 1350–1389.
Puncak kejayaan Majapa-hit ini dibawah pimpinan Raja Hayam Wuruk dan patihnya
Gajah Mada yang menguasai seluruh kepulauan Indonesia bahkan hingga Jazirah
Malaka sesuai dengan “Sumpah Palapa” Gajah Mada yang ingin Nusantara bersatu.
Kemudian Islam mulai masuk ke Jawa dengan membawa pengaruh dan perkembangan
yang sangat pesat. Apabila sejarah ini benar, maka lokasi situs candi yang
didirikan oleh pengikut Majapahit ini berada sangat jauh dari pusat kerajaan
Majapahit. Pusat kerajaan Majapahit berada di Jawa Timur sedangkan lokasi candi
Sukuh masuk ke wilayah Jawa Tengah (meskipun dalam wilayah perbatasan Jateng
dan Jatim).
Lokasi candi Sukuh saat ini berada di dalam
wilayah Karesidenan Surakarta. Sejarah berdirinya karesidenan Surakarta sendiri
mempunyai rentang waktu yang cukup lama dengan berdirinya candi Sukuh.
Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri sebagai suatu kerajaan pecahan dari
Kesultanan Mataram (Islam) pada 13 Februari 1755, yaitu sebagai akibat dari
ditandatanganinya Perjanjian Giyanti. Pemerintah Hindia Belanda dalam
perjanjian tersebut juga mengakui Sunan Pakubuwana III sebagai raja yang berhak
mengatur rumah tangganya sendiri. Di awal masa kemerdekaan (1945-1946), bersama
Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa Surakarta. Akan tetapi
karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu, maka pada tanggal 16 Juni 1946
oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan Surakarta,
menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan
bahwa candi Sukuh bukan produk dari Kasunanan Surakarta, karena usia candi
Sukuh keberadaannya lebih dulu daripada Kasunanan Surakarta. Candi Sukuh juga
bukan merupakan produk dari Kesultanan Mataram, karena Kesultanan Mataram
menganut paham Islam yang mentabukan keberadaan candi. Dari uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa candi Sukuh kemungkinan bukan produk sebuah kerajaan
tertentu sehingga tidak berada di sebuah pusat pemerintahan atau pusat
kerajaan.
Keberadaan candi Sukuh yang berlokasi di tempat
yang jauh dari pusat kerajaan serta relief yang dipahat kurang indah
dibandingkan dengan candi-candi lain di Indonesia, menunjukkan bahwa candi ini
dibuat oleh orang-orang yang kurang memahami atau memiliki kemampuan skill dan
pengetahuan tentang pembuatan candi pada waktu itu. Bentuk candi yang sederhana
dan terlihat lain dibandingkan dengan candi lain diperkirakan dipahat oleh
orang yang tidak menguasai teknik pahat batu atau bahkan dipahat oleh tukang
kayu atau tukang pande besi, karena disana juga ditemukan relief kegiatan pande
yakni membuat peralatan atau kerajinan dari besi.
Lokasi candi yang berada di sebuah lereng
gunung Lawu ini juga menunjukkan bahwa penentuan tempat ini seadanya tanpa
memperhitungkan kondisi yang lebih strategis. Pemilihan lokasi candi yang jauh
di lereng gunung tersebut “candi ndeso” kemungkinan merupakan tempat yang aman
bagi para pelarian orang Majapahit yang kalah perang oleh pasukan Islam Demak.
Pelarian yang kalah dalam suatu pertempuran tentunya mencari tempat persembunyian
yang aman dan jauh dari pusat keramaian, maka dengan lokasi candi Sukuh yang
pada waktu dulu mungkin tempatnya sangat sulit untuk dijangkau oleh lain.
Candi Sukuh merupakan candi yang digunakan
sebagai sarana peribadahan umat Hindu pada waktu itu. Meskipun adanya relief
penis dan vagina yang terkesan porno, namun tentunya memiliki simbol dan makna
tertentu karena candi ini digunakan sebagai tempat beribadah. Relief lingga
yoni di gapura terdepan dan bagian atas candi induk di candi Sukuh juga merupakan
lambang ucapan syukur masyarakat setempat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
kesuburan yang mereka peroleh. Sedangkan dilihat dari bentuk candi yang mirip
dengan “punden berundak” tentulah candi ini merupakan tempat pemujaan roh-roh
leluhur. Candi tersebut merupakan bangunan suci agama Syiwa, yang di Indonesia
berbentuk lingga dan digambarkan secara realistis sebagai alat kelamin
laki-laki. Kenyataan lainnya adalah adanya ruang pemujaan di candi utama yang
digunakan untuk bersembahyang.
Keberadaan Candi Sukuh merupakan tempat
peribadahan yang suci dan menjadi saksi atas ketaatan sebuah generasi dan
keutuhan sebuah masa yang begitu mengagungkan nilai-nilai kebudayaan dan
peribadahan. Pendirian peninggalan ini tentunya mempunyai makna dan maksud
berupa ajaran hidup bagi umat dan masyarakatnya, tentunya hal ini merupakan
salah satu nilai penting yang perlu kita gali dan kita terjemahkan dalam hidup
kita sesuai dengan keyakinan kita. Kessederhanaan candi Sukuh adalah salah satu
wujud karya nenek moyang yang tiada ternilai harganya, maka picik bagi kita
sebagai generasi pewaris bila tak ada niatan untuk tidak turut berbagi dalam
upaya pelestarian nilai-nilai dan kandungan yang tersimpan didalamnya.
Candi Sukuh pada jamannya juga merupakan
tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ruwatan). Bukti-bukti
bahwa Candi Sukuh merupakan tempat untuk upacara pengruwatan yakni: (a) Relief
Lingga-yoni di gapura pertama selain berfungsi sebagai “suwuk” juga berfungsi
untuk “ngruwat” siapa saja yang memasuki candi. (b) Relief Sudamala yang
menceritakan Sadewa “ngruwat” Sang Durga. (c) Relief Garideya yang
menggambarkan Garuda “ngruwat” ibunya yang bernama Dewi Winata. (d) Prasasti
tahun 1379 Saka dipunggung sapi yakni kata “pawitra” yang berarti air suci (air
pengruwatan).
Sumber:
http://solo.yogyes.com/id/see-and-do/archaeological-sight/candi-sukuh/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar